Bisnis non syariah, yang tidak memenuhi prinsip Islam, sering menjadi perhatian ulama. Dalam perspektif Islam, kegiatan ekonomi dianggap sah jika dilakukan sesuai syariat, melibatkan kejujuran, keadilan, dan menghindari unsur haram seperti riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi). Namun, dalam praktiknya, banyak bisnis yang tidak memenuhi standar ini.
Statistik
Menurut laporan Global Islamic Economy Indicator (2023), sekitar 35% dari transaksi ekonomi di negara mayoritas Muslim masih melibatkan unsur non-syariah, seperti riba dan spekulasi.
Penjelasan Ulama
- Larangan Praktik Haram
Ulama sepakat bahwa bisnis non-syariah melibatkan unsur yang dilarang seperti riba, yang dianggap zalim karena mengambil keuntungan secara tidak adil. Hal ini bertentangan dengan QS. Al-Baqarah: 275 yang menyebutkan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. - Alternatif Syariah
Beberapa ulama, seperti Dr. Yusuf Qaradawi, menekankan pentingnya menyediakan alternatif syariah agar umat Islam tidak terjebak dalam sistem ekonomi yang bertentangan dengan nilai Islam. Misalnya, mengganti sistem bunga dengan bagi hasil dalam perbankan. - Toleransi dalam Situasi Darurat
Dalam beberapa kasus, ulama memberikan kelonggaran jika bisnis non-syariah adalah satu-satunya opsi untuk mempertahankan hidup. Namun, ini bersifat sementara dan tidak boleh menjadi kebiasaan.
Dampak Bisnis Non Syariah
Bisnis non-syariah tidak hanya memengaruhi individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Ketidakadilan dalam praktik ekonomi dapat menyebabkan kesenjangan sosial dan hilangnya keberkahan. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami dan memilih bisnis yang sesuai dengan perspektif Islam.
Kesimpulan
Penjelasan ulama mengenai bisnis non-syariah menegaskan pentingnya menjalankan kegiatan ekonomi yang selaras dengan syariat. Dengan demikian, umat Islam dapat memperoleh keberkahan dan membangun masyarakat yang adil.